Rabu, 22 Februari 2012

TELAGA MADIRDO


Telaga Madirdo

  Telaga Madirdo, nama yang yang masih asing di telinga kita. 

Bacpacker ke Telaga Madirdo

    Pokoknya tempat ini tidak begitu jauh dari Candi Planggatan dan 7 km dari Tawangmangu.

Telaga ini tengah berbenah untuk menjadi tujuan wisata andalan Karanganyar. Secara administratif Telaga Madirdo berada di Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Saat menuju ke Telaga Madirdo tampak dua buah bangunan loket retribusi kecil diantara nya terdapat jalan kecil yang menuju ke telaga. 

                                                        Masih Di Telaga Madirdo



Hal paling mencolok disini adalah adanya gazebo kecil yang dicat berwarna pinkdan dibangun sepanjang tepian telaga. Ga habis pikir, kenapa warnanya pink ? Biru muda kan lebih bagus dan serasi dengan alam serta terlihat di kejauhan. Sayangnya, tepian telaga ini panas dan gazebo – gazebo tersebut kurang mampu menaungi pengunjung.

Di telaga ini ada banyak ikannya, sayangnya dilarang dipancing, bahkan mas ojek sudah mengingatkannya lebih dulu plus ada larangannya di telaga ini. Pikiranpun melayang, ikan apakah yang berada di telaga ini sehingga begitu dijaganya. Apakah ikan jadi – jadian ? Ikan keramatkah ? Ikan langkakah ? Spesies endemik satu – satunya ? E…e…eh, ternyata setelah dilihat………cuma ikan koi dan ikan – ikan kelabu seperti ikan gurame. Mungkin baru disebar di telaga ini ya ? 

                          Batu - Batu Di Atas Adalah Sumber Mata Air Telaga Madirdo


Air telaga benar – benar jernih sampai – sampai dasar telaga kelihatan, begitu pula ikan – ikan bakar  nya yang berenang dengan damai dalam kejernihan airnya. Hm ,jadi tergoda untuk memasukkan diri ke dalam telaga ini, atau setidaknya kedepannya disediakan sampan atau perahu untuk mengarungi Telaga Mardido ini. Layaknya air pegunungan, air Telaga Mardido juga dingin. Selain itu, juga terdengar gemericik air dari bebatuan di sekitar telaga yang juga merupakan sumber air bagi telaga ini. Telaga yang berad di ketinggian 900 mdpl ini memiliki kedalaman 1 – 3 meter dan memiliki luas ± 1.000m2 namun hanya menggenangi 30 % dari luas cekungan [Telaga Mardido terletak dibawah sehingga membentuk seperti cekungan].

                                                          Fajar Menyingsing Di Madirdo

Ada perubahan dari foto Telaga Madirdo dari foto di internet dengan yang sekarang. Di foto itu terdapat banyak sekali bebatuan yang menyembul keluar dari tengah telaga, namun sekarang bebatuannya sudah tenggelam di dasar telaga. Sepertinya air telaga telah dinaikkan beberapa meter namun tidak bertambah luas.

Sepertinya tak ada salahnya mampir sejenak ke kawasan ini sebelum ke air terjun Jumog atau Tawangmangu, walau sekedar mendengar gemericik airnya, segarnya udaranya dan pastinya,

Minggu, 19 Februari 2012

CANDI CETHO


12903126641672861135

   Candi Cetho ini terletak di dusun Cetho Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karangayar, terletak pada 1400m di atas permukaan air laut. Dari Magetan tempat ini ditempuh dengan kendaraan pribadi selama 2 jam perjalanan, melewati jalan tembus Cemoro Sewu yang siang itu terlihat mulus dan tidak begitu ramai, maklum bukan hari libur. Awalnya saya pikir bahwa Candi ini letaknya tidak jauh dari air Terjun Grojogan Sewu Tawangmangu, ternyata perkiraan saya salah besar.
    Dari Tawangmangu mobil terus melaju ke arah kota Karanganyar, menyusuri jalanan khas pegunungan yang curam dengan kelokan-kelokan tajam, terus melaju melewati Patung Semar di Karang Pandan. Tidak jauh dari tempat itu ada pertigaan, dan mobil membelok ke kanan. Membelah desa-desa di wilayah kecamatan Kemuning. Maaf saya tak sempat menghafal desa mana saja yang kami jelajahi, karena terus terang saya ngeri dengan medan yang harus kami lewati. Di salah satu gate ada petugas menghentikan, kami membayar retribusi untuk kendaraan seharga Rp 5.000,00. Begitu melewati gate itu saya baru tahu bahwa gate itu merupakan pintu masuk untuk tiga lokasi wisata yaitu Candi Sukuh, Candi Cetho dan Air Terjun Jumog.
12903127641829422237

1290312848830983241
    Semakin jauh, jalan semakin menanjak, mobil mulai memasuki perkebunan teh, yang siang itu terlihat sangat indah. Mobil meliuk-liuk membelah perkebunan teh, melingkari bukit-bukit hijau, kadang membelok tajam dan harus mampu melewati tanjakan-tanjakan setan yang luar biasa menantang, untung skill mengemudi teman saya bisa diandalkan. Sepanjang mata memandang hanya “hijau” yang kami temukan. Satu putaran lagi, kata teman saya, candinya ada di puncak bukit itu, begitu katanya sambil menunjuk sebuah bukit di depan sana. Oh God…Lindungilah Kami, jalannya kecil dan ada sebagian ruas yang tertimbun tanah karena longsoran dari bukit diatasnya.  
   Dengan perjuangan, akhirnya sampai juga di sana, memasuki dusun Cetho mobil membelok ke kiri, dan salah satu gapura candi terlihat begitu menantang. Tiket masuk ke candi seharga Rp 4.000,00 per orang.
   Menurut http://id.wikipedia.org, candi Cetho ini dibangun pada akhir masa Kerajaan Majapahit (sekitar abad ke 15). Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho. Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.
1290312954815929311

   Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut “kuntobimo”) di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
12903130411080350460
12903131371975548203
   Satu per satu aras saya lewati, dengan tidak melewatkan setiap detail yang ada di sana. Siang itu sepanjang perjalanan mengelilingi candi, kabut tak henti-hentinya turun, langit mendung sepanjang hari, tak ada langit biru. Semakin tinggi, semakin terasa hembusan anginnya. Brrrrrrr…dingin terasa di kulit.
1290313260392256712
129031332656427818
   Kini, sampailah saya di aras ke delapan. Aras kesembilan tertutup untuk umum, pintu pagar kecil terlihat terkunci. Dan disinilah saya sekarang, memandang jauh ke bawah, menyaksikan kembali jalan-jalan yang sudah saya lewati. Saya merasa terlempar ke masa yang berbeda, memasuki negeri di atas awan. Hmmmmmmmm….sendu dan senyap. Maka tak heran jika sampai sekarang Candi ini masih digunakan untuk upacara keagamaan, khususnya agama Hindu.
    Sepanjang mata memandang, banyak sekali saya temukan pahatan kasar berbentuk penyu, karena penasaran akhirnya saya bertanya ke juru kunci. Akhirnya sang Juru Kunci berkata bahwa penyu merupakan perlambang akan penyuwunan/penjalukan  yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai permintaan atau permohonan kepada Sang Maha.
1290313578428168619

CANDI SUKUH

Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

 Sejarah singkat penemuan

Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.

 Lokasi candi

Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Bila menggunakan Wikimapia [1].

 Struktur bangunan candi

Denah candi Sukuh.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.
Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.

 Teras pertama candi

Gapura utama candi Sukuh.
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

 Teras kedua candi

Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!

 Teras ketiga candi

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.

 Relief pertama

Relief pertama.
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.

 Relief kedua

Relief kedua.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

 Relief ketiga

Relief ketiga.
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

 Relief keempat

Relief keempat.
Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.

 Relief kelima

Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.

 Patung-patung sang Garuda

Prasasti sukuh.
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.

 Beberapa bangunan dan patung lainnya

Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.
Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.

Sabtu, 18 Februari 2012

Gunung Slamet

        Gunung Slamet adalah gunung yang berada di kabupaten Purbalingga,Tegal, Brebes dan Banjarnegara. Tepatnya di sebelah Barat kota Purbalingga dan sebelah Utara kota Purwokerto pada ketinggian Gunung ini mencapai 3432 m dpl dan termasuk gunung berapi tertinggi di Jawa dengan memiliki 4 buah kawah aktif yang terletak di puncaknya, sehingga dianjurkan untuk mendaki puncak sebelum pukul 10 pagi untuk menghindari adanya gas beracun. Dari puncak dapat terlihat gunung-gunung lainnya di jawa tengah seperti gunung Sumbing, Sindoro, merbabu, merapi bahkan kalau sedang cerah bisa melihat gunung Lawu.

       Pada bulan-bulan tertentu cuaca di gunung ini sangat ekstrim dan seringkali terjadi badai pada puncaknya, suhu udara turun dengan drastis untuk mengantisipasinya jangan lupa membawa baju ha...ngat, jas hujan dan kantung tidur agar tidak terkena hipotermia jika ingin mendaki gunung ini. Sebagian jalur pendakian amat curam dan pada musim hujan, jalur pendakian menjadi semakin berat karena jalur tersebut terisi oleh air.

      Sebagian masyarakat jawa mempercayai bahwa gunung slamet adalah pusat dari pulau Jawa. Mereka juga menyebut gunung ini dengan nama gunung Lanang. Bahkan mereka juga percaya bahwa gunung ini adalah gunung yang angker, yang banyak didiami oleh mahluk halus. Terlepas dari mitos dan kepercayaan yang ada, gunung ini merupakan gunung yang indah, terutama di Pelawangan yaitu daerah sebelum puncak.

      Ada beberapa pintu masuk untuk mendaki gunung ini yaitu melalui Bambangan, Batu Raden, Kaliwadas dan Randudongka. Tapi jalur resminya adalah melalui Bambangan, jalur-jalur lainnya sudah ditutup untuk keselamatan. Pemandangan yang di temui melalui pintu masuk Bambangan cukup beragam, dari pintu masuk perkebunan mendominasi rute perjalanan, lalu berganti dengan hutan hujan tropis, mendekati puncak berganti dengan semak semak, dan puncaknya berupa batu- batuan dan pasir. Jalur yang ditempuh cukup sulit dengan rata-rata kemiringan lebih dari 400.

Jalur Bambangan:
Bambangan merupakan sebuah desa yang terletak di lereng gunung slamet.
Dari desa ini menuju pos pertama melalui perkebunan sayur yang masih dapat ditempuh dengan motor sampai pos pesanggrahan perum perhutani Serang, setalah itu perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Biasanya pendaki memulai perjalanan pada sore untuk menghindari panasnya sengatan matahari ketika berjalan diperkebunan yang terbuka.

Pengantar aksara Jawa

Huruf dasar (AKSARA)

Hanacaraka-jawa.png
Urutan dasar aksara Jawa banyak dikenal orang karena berisi suatu "cerita":
Hana Caraka (Terdapat Pengawal)
Data Sawala (Berbeda Pendapat)
Padha Jayanya (Sama kuat/hebatnya)
Maga Bathanga (Keduanya mati).
Bagi mereka yang kurang mengenal bahasa Jawa, diperlukan sedikit catatan.
  • /d/, /ɖ/, /j/, /b/, dan /g/ pada bahasa Jawa selalu dibunyikan meletup (ada hembusan h); ini memberikan kesan "berat" pada aksen Jawa.
  • ha, mewakili fonem /a/ dan /ha/. Bila aksara ini terletak di depan suatu kata, akan dibaca /a/. Aturan ini tidak berlaku untuk nama atau kata bahasa asing (selain bahasa Jawa).
  • da dalam penulisan latin dipakai untuk /d/ dental dan meletup (lidah di belakang pangkal gigi seri atas dan diletupkan). /d/ ini berbeda dari bahasa Indonesia/Melayu.
  • dha dalam penulisan Jawa latin dipakai untuk /ɖ/ (d-retrofleks). Posisi lidah sama dengan /d/ bahasa Melayu/Indonesia tetapi bunyinya diletupkan.
  • tha dalam penulisan Jawa latin dipakai untuk /ʈ/ (t-retrofleks). Posisi lidah sama seperti /d/ tetapi tidak diberatkan. Bunyi ini mirip dengan bila orang beraksen Bali menyuarakan 't'.

 Aksara

Jumlah aksara / huruf pada hanacaraka berjumlah 20 buah tampak pada gambar berikut.
Hanacaraka gaya Jawa, aksara-aksara dasar madesu
Hanacaraka gaya Bali, aksara-aksara dasar
Hanacaraka gaya Jawa, aksara-aksara dasar









Hanacaraka gaya Bali, aksara-aksara dasar
== Makna Huruf ==

Ha Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Na Nur candra, gaib candra, warsitaning candara - pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi - arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka Karsaningsun memayuhayuning bawana - hasrat diarahkan untuk kesajeteraan alam
Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa adanya
Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sa Suram ingsun handulu sifatullah - membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Wa Wujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
La Lir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Ja Jumbuhing kawula lan Gusti - Selalu berusaha menyatu memahami kehendak-Nya
Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas titah/kodrat Illahi
Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat kehidupan
Ma Madep mantep manembah mring Ilahi - yakin/mantap dalam menyembah Ilahi
Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani
Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niatan
Nga Ngracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi manusia.

Pasangan

Jika Carakan / aksara Jawa lebih bersifat silabis (kesukukataan), bagaimana Carakan bisa menuliskan huruf mati. Hal ini bisa dijawab dengan adanya pasangan. Pasangan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata yang tertutup (diakhiri) konsonan dengan suku kata berikutnya.
Sebagai contoh kata "banda" yang bila dipisahkan menurut silabiknya adalah "ban" dan "da". Suku kata yang pertama suku kata ban. Untuk menuliskan ban ini pertama-tama adalah dengan menuliskan aksara Ba terlebih dahulu. Kemudian menuliskan aksara Na karena aksara Na mewakili dua buah huruf latin yakni N dan A sehingga kita tidak bisa langsung menuliskan aksara da. Untuk mematikan huruf Na, maka kita harus menuliskan bentuk pasangan da.
Bentuk pasangan disebutkan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata yang tertutup konsonan dengan suku kata berikutnya. Artinya bahwa huruf yang diikuti pasangan akan dimatikan sehingga menjadi konsonan. Pada kasus di atas aksara Na diikuti pasangan Da yang berarti Na akan dibaca sebagai N.
Semua aksara pokok yang ada di Carakan memiliki pasangannya masing-masing. Bentuk pasangan ini ada yang dituliskan di bawah dan ada juga yang di atas sejajar dengan aksara.
Bentuk-bentuk pasangan itu adalah:
ha na ca ra ka
Jawa Ha Pasangan.png Jawa Na Pasangan.png Jawa Ca Pasangan.png Jawa Ra Pasangan.png Jawa Ka Pasangan.png
da ta sa wa la
Jawa Da Pasangan.png Jawa Ta Pasangan.png Jawa Sa Pasangan.png Jawa Wa Pasangan.png Jawa La Pasangan.png
pa dha ja ya nya
Jawa Pa Pasangan.png Jawa Dha Pasangan.png Jawa Ja Pasangan.png Jawa Ya Pasangan.png Jawa Nya Pasangan.png
ma ga ba tha nga
Jawa Ma Pasangan.png Jawa Ga Pasangan.png Jawa Ba Pasangan.png Jawa Tha Pasangan.png Jawa Nga Pasangan.png

Aksara Murda

Kegunaan Aksara Murda

Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan
  • Nama Gelar
  • Nama Diri
  • Nama Geografi
  • Nama Lembaga Pemerintah
  • Dan Nama Lembaga Berbadan
(Kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang menunjukkan hal-hal diatas biasanya diawali dengan huruf besar atau kapital. Untuk itulah pada perangkat lunak ini kita gunakan huruf kapital untuk menuliskan aksara murda atau pasangannya)

Aksara Murda dan Pasangannya

Sebagai catatan mengenai aksara murda ini bahwa tidak semua aksara yang ada di Hanacaraka memiliki bentuk Murdanya. Aksara murda dalam Hanacaraka hanya berjumlah 7 buah. Bentuk Murda dalam hanacaraka juga memiliki bentuk pasangan yang memiliki fungsi sama dengan pasangan dalam aksara Jawa.
Bentuk Aksara Murda serta Pasangan Murda

 Aturan Pengunaan

Untuk aturan penulisan Aksara murda ini hampir sama dengan penulisan aksara-aksara pokok di Hanacaraka, ditambah dengan beberapa aturan tambahan yakni :
  • Murda tidak dapat dipakai sebagai sigeg (konsonan penutup suku kata).
  • Bila ditemui aksara murda menjadi sigeg, maka dituliskan bentuk aksara pokoknya.
  • Bila dalam satu kata atau satu kalimat ditemui lebih dari satu aksara murda, maka ada dua aturan yang dapat dipergunakan yakni dengan menuliskan aksara murda terdepannya saja, atau dengan menuliskan keseluruhan dari bentuk aksara mudra yang ditemui.

Contoh Pemakaian Aksara Murda

Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara murda ini, contoh berikut bisa digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Murda.

  Aksara Swara

Kegunaan Aksara Swara

Aksara Swara sebagaimana aksara Murda memiliki fungsi dan kegunaan tertentu. Aksara Swara dalam penulisan Hanacaraka digunakan untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya.

 Bentuk Aksara Swara

Aksara Swara tidak seperti aksara-aksara yang lain. Aksara ini tidak dilengkapi dengan bentuk pasangan. adapun bentuk Aksara Swara ini adalah sebagai berikut :

Aturan Penulisan Aksara Swara

Dalam menuliskan Aksara Swara, diikuti aturan penulisan aksara swara sebagai berikut :
  • Aksara swara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan.
  • Bila aksara swara menemui sigegan (konsonan pada akhir suku kata sebelumnya), maka sigegan itu harus dimatikan dengan pangkon.
  • Aksara swara dapat diberikan sandangan wignyan, layar, cecak, suku, wulu dan lainnya.

 Contoh Penggunaan Aksara Swara

Untuk melengkapi aturan penggunaan aksara murda ini, contoh berikut bisa digunakan sebagai acuan untuk menuliskan Aksara Murda.
Contoh:
Aksara Rekan

Kegunaan Aksara Rekan

Perlu diakui bahwa bentuk-bentuk huruf yang ada di dalam Hanacaraka tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam penulisan kata-kata dari manca negara. Sebagai salah satu bentuk asimilasi budaya ini, maka dibentuklah aksara rekan yang pada perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa arab.
Aksara rekan digunakan untuk menuliskan aksara konsonan pada kata-kata asing yang masih dipertahankan seperti aslinya.

 Bentuk Aksara Rekan dan Pasangan Rekan

Aksara Rekan dalam Hanacaraka ada 5 buah, yang kesemuanya memiliki bentuk pasangan. Adapun bentuk aksara dan pasangan rekan itu digambarkan di bawah ini:
Berkas:08AksaraRekan.JPG Aturan Penulisan Aksara Rekan
Untuk menggunaan Aksara Rekan beserta pasangannya diikuti aturan sebagai berikut :
  • Aksara rekan dapat menjadi pasangan
  • Aksara rekan dapat diberikan pasangan
  • Aksara rekan juga dapat diberikan sandangan sebagaimana aksara-aksara yang ada dalam Hanacaraka.

 Contoh Penggunaan Aksara Rekan

Berikut ini adalah daftar aksara rekan dan aksara pasangannya yang dilengkapi dengan contoh penggunaan masing-masing aksara.

 Alasan dipakainya sandangan

Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. Di dalam tulisan jawa, aksara yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan anatara konsonan dan vokal a. Vokal a di dalam bahasa Jawa mempunya dua macam varian, yakni / / dan /a/.
  • Vokal a dilafalkan seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh doi dalam bahasa Indonesia, misalnya :
  • Vokal a dilafalkan /a/, seperti a pada kata pas, ada, siapa, semua di dalam bahasa Indonesia, misalnya :
Sandangan di dalam aksara jawa dapat dibagi menjadi tiga golongan yakni sebagai berikut :
  1. Sandangan Bunyi Vokal (Sandhangan Swara)
  2. Sandangan Konsonan Penutup Suku Kata (Sandhangan Panyigeging Wanda)
  3. Sandangan Gugus Konsonan

 Sandangan bunyi vokal

Sandangan bunyi vokal ada lima buah. Adapun bentuk dari sandangan bunyi vokal ini adalah :

 Pemakaian Sandangan Wulu

Sandangan Wulu dipakai untuk melambangkan vokal ( i ) di dalam suatu suku kata. Sedangkan wulu ditulis di bagian atas akhir suatu aksara. Apabila selain wulu juga terdapat sandangan yang lain, maka sandangan wulu digeser sedikit ke kiri.

 Pemakaian Sandangan Suku

Penulisan sandangan suku dapat dituliskan dalam dua keadaan yaitu :
  • Penulisan sandangan suku pada aksara. Sandangan suku dipakai untuk melambangkan bunyi vokal u yang bergabung dengan bunyi konsonan di dalam suatu suku kata, atau vokal U yang tidak dituliskan dengan aksara swara.Sandangan suku dituliskan serangkai di bagian bawah akhir aksara yang mendapatkan sandangan itu.
  • Penulisan sandangan suku pada pasangan. Sandangan suku pada pasangan dituliskan mengikuti letak penulisan pasangan itu. Letak sandangan sukunya sendiri tetap berada pada bagian bawah akhir dari pasangan. Apabila sandangan suku mengikuti pasangan aksara (ka), (ta), atau (la), maka pasangan ini harus dirubah dulu ke dalam bentuk aksara pokoknya dahulu, baru kemudian diberikan sandangan suku.

Pemakaian Sandangan Pepet

Kegunaannya untuk dipakai untuk melambangkan vokal e di dalam suatu suku kata.
Aturan penulisan sandangan pepet tertera sebagai berikut:
  • Sandangan pepet ditulis di bagian atas akhir aksara.
  • Apabila selain pepet juga terdapat sandangan layar, maka sandangan pepet digeser sedikit ke kiri dan sandangan layar ditulis di sebelah kanan pepet.
  • Apabila selain pepet juga terdapat sandangan cecak, maka sandangan pepet digeser sedikit ke kiri dan sandangan cecak ditulis di dalam pepet.
  • Penempatan sandangan pepet pada aksara yang mendapatkan pasangan dituliskan sesuai dengan aturan di atas, kecuali untuk aksara yang mendapatkan pasangan yang dituliskan di atas seperti sandangan (ha), (sa), dan (pa). Untuk aksara yang mendapatkan pasangan ini, maka penulisan pepet berada di atas pasangannya.
Pengecualian: Sandangan pepet tidak dipakai untuk menuliskan suku kata re dan le yang bukan sebagai pasangan. Sebab suku kata re dan le yang bukan pasangan dilambangkan dengan tanda pacerek (re) dan Nga lelet (le).

 Pemakaian Sandangan Taling

Sandangan taling dipakai untuk melambangkan bunyi vokal e atau e yang tidak ditulis dengan aksara swara E yang bergabung dengan bunyi konsonan di dalam suatu suku kata. Sandangan taling ditulis di depan aksara yang dibubuhi sandangan itu.
Catatan: Untuk membedakan penggunaan sandangan pepet dengan taling, maka dalam perangkat lunak ini gunakan:
  • e (kecil) untuk penulisan sandangan pepet
  • E (besar) untuk penulisan sandangan taling

 Pemaikaian Sandangan Taling Tarung

Sandangan taling tarung dipakai untuk melambangkan bunyi vokal O yang tidak dituliskan dengan aksara swara di dalam suatu suku kata. Untuk Sandangan taling tarung dituliskan mengapit aksara yang dibubuhi sandangan itu.
Sandangan taling tarung untuk aksara pasangan di tuliskan mengapit aksara yang dimatikan (yang menjadi sigeg). Untuk aksara pasangan yang ada di atas seperti pasangan (ha), (sa), dan (pa), maka taling ditaruh didepan aksara sigeg, sedangkan tarung ditaruh di belakang aksara pasangan. Sandangan penutup suku kata
Sandangan penutup suku kata ada 4 buah.

 Pemakaian Sandangan Wignyan

Sandangan wignyan adalah pengganti sigegan ha (konsonan ha di akhir suku). Penulisan wignyan diletakkan di belakang aksara yang dibubuhi sandangan itu.

 Pemakaian Sandangan Layar

Hampir sama dengan sandangan wignyan, sandangan layar digunakan untuk pengganti sigegan ra (konsonan ra di akhir suku). Penulisan layar ditulis dibagian atas akhir aksara yang mengikuti.

 Pemakaian Sandangan Cecak

Sandangan cecak digunakan untuk menuliskan sigegan ng (sepasang konsonan nga di akhir suku kata). ada tiga buah kondisi dalam menuliskan sandangan cecak, yakni :
  • Sandangan cecak ditulis di atas aksara. Sandangan cecak dituliskan menurut aturan ini bila menemui keadaan aksara yang diikuti tidak memiliki sandangan di atas aksara selain dirinya.
  • Sandangan cecak ditulis di atas aksara belakang sandangan wulu. Apa bila sandangan cecak mengikuti sandangan wulu, maka sandangan cecak dituliskan di belakang sandangan wulu.
  • Sandangan cecak ditulis di atas aksara di dalam pepet. Sandangan cecak ( ) apabila mengikuti sandangan pepet (), maka penulisan cecak di taruh di dalam sandangan pepet. Dalam keadaan ini kedua sandangan penulisannya adalah sebagai berikut : ().

Pemakaian Sandangan Pangkon

Tidak seperti ketiga sandangan sebelumnya, sandangan pangkong memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itu adalah :
  • Sandangan pangkong dipakai sebagai penanda bahwa aksara yang dibubuhi sandangan pangkon itu merupakan aksara mati, aksara penutup suku kata, atau aksara penyigeging wanda. Sandangan pangkong ditulis di belakang aksara yang di bubuhi sandangan itu.
  • Sandangan pangkon dapat juga dipakai sebagai pembatas bagian kalimat atau rincian yang belum selesai, senilai dengan pada lingsa, atau tanda koma (,) di dalam ejaan latin, di samping untuk mematikan aksara. Pada kasus ini pangkong berfungsi ganda.
    • Contoh:
bapak macul, aku angon sapi, adhiku dolanan ijen.
  • Sandangan pangkon dapat ditulis untuk menghindarkan penulisan aksara yang bersusun lebih dari dua tingkat.
    • Contoh :
benik klambi

 Sandangan gugus konsonan

Gugus konsonan adalah kumpulan dari dua konsonan dalam Hanacaraka yang akan membentuk suatu suku kata. sebagai contoh kraton yang dapat dipisah menjadi kra-ton. suku kata kra memiliki gugus konsonan kr. Di dalam Hanacaraka ada lima buah gugus konsonan yang digunakan dalam bentuk sandangan.

 Sandangan Cakra

Sandangan cakra merupakan penanda gugus konsonan yang unsur terakhirnya berwujud konsonan r. Tanda cakra ditulis serangkai di bawah bagian akhir aksara yang diberi tanda cakra itu.
Aksara yang sudah diberikan cakra dapat diberikan sandangan lagi selain sandangan cakra, cecak, cakra la, cakra wa. Dan apa bila sandangan itu adalah pepet, maka sandangan cakra dan pepet ditulis menjadi cakra keret.

 Sandangan Cakra Keret

Sandangan Cakra Keret dipakai untuk melambangkan gugus konsonan yang berunsur akhir konsonan r dengan diikuti vokal e pepet. Dengan kata lain cakra keret digunakan sebagai ganti tanda cakra yang mendapatkan penambahan sandangan pepet. Tanda cakra keret ditulis serangkai di bawah bagian akhir aksara yang diberikan tanda keret itu.

 Sandangan Pengkal

Sandangan Pengkal dipakai untuk melambangkan konsonan y yang bergabung dengan konsonan lain di dalam suatu suku kata. Tanda pengkal ditulis serangkai di belakang aksara yang diberi tanda pengkal.

 Singkatan atau akronim

Singkatan adalah kependekan bentuk (kata atau kelompok kata) yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dilafalkan huruf demi huruf ataupun yang tidak. Sedangkan Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar.
Singkatan dan akronim itu lazimnya dibuat berdasarkan atas tulisan beraksara latin. Untuk singkatan yang tidak dapat diucapkan sebagai mana layaknya sebuah kata, maka penulisannya adalah seperti apa yang terucap dari singkatan itu. Sedangkan akronim yang bisa diucapkan sebagai kata, maka dituliskan sebagai mana layaknya sebuah kata.
Untuk menuliskan singkatan pada perangkat lunak ini, gunakan huruf besar semua. contoh : PPKI, PPPK, MPR, DPR dan lain sebagainya
Angka dan lambang bilangan
  • Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Angka jawa adalah sebagai berikut
  • Angka dipakai untuk menyatakan angka dipakai untuk menyatakan (i) Ukuran panjang, berat, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas. Penulisan angka untuk kasus ini dilakukan dengan mengapitkan tanda pada pangkat di awal dan di akhir penulisan angka.
Contoh :
Dawane 35 cm.
Bobotku 65 kilogram.
Untuk menuliskan satuan dari suatu bilangan, maka satuan itu bisa dituliskan dalam bentuk kata lengkapnya. sebagai contoh kilogram, meter, kilometer, dan sebagainya.
Pada Perangkat lunak ini juga mendukung perubahan bentuk huruf dari bentuk satuan (tidak normal) ke bentuk pengucapannya. Adapun dukungan satuan/besaran yang ditangani yakni :
Tabel tak normal dan kata normal.

 Tanda baca

Dalam Hanacaraka terdapat pula tanda-tanda baca yang digunakan dalam penulisan kalimat, paragraf dan lainnya. Bentuk tanda baca yang ditangani dalam perangkat lunak ini ada 4 buah yakni :
  • Adeg-adeg
Adeg adeg dipakai di depan kalimat pada tiap-tiap awal alinea.
  • Pada Lingsa
Pada lingsa dipakai pada akhir bagian kalimat sebagai tanda intonasi setengah selesai. Tanda ini hampir setara dengan penggunaan koma(,).
Contoh: wong gedhe, dhuwur, lan pakulitane ireng.
  • Pada Lungsi
Pada lungsi dipakai pada awal suatu kalimat. Tanda ini hampir setara dengan titik.
Contoh: wis meh jam telu esuk, sumini durung bisa turu. pikirane goreh. goreh amarga mikirna bojone kang wis telung dina iki durung mulih.
  • Pada Pangkat
    • Pada pangkat dipakai pada akhir pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian. Contoh: aku arep tuku bala pecah : mangkok, piring, lan gelas.
    • Pada pangkat dipakai untuk mengapit angka. Contoh: Ibu mundhut emas 75 gram.
    • Pada pangkat dipakai untuk mengapit petikan langsung. Contoh: Ibu ngendika, "sapa kancamu"